Wartawan Bodrex (bondo sredek) dan Abal-abal Menjamur, Profesi Jurnalis Ternodai Oknum Tak Beretika

Oplus_131072
Surabaya|metrosoerya.com – Fenomena wartawan “bodrex” dan abal-abal bukan hanya belum sirna, melainkan justru semakin menjamur. Mereka kerap berkeliaran di berbagai instansi, baik pemerintahan, BUMN, maupun perusahaan swasta. Bukannya menjalankan tugas jurnalistik secara profesional, mereka justru merusak nama baik korps wartawan dan mencoreng kredibilitas media.
Modus operandi yang dilakukan pun tak asing: mencari-cari kesalahan institusi atau individu, kemudian mengaitkannya dengan permintaan sumbangan dana untuk alasan pencetakan koran, yang pada akhirnya hanyalah kedok untuk pemerasan terselubung. Aksi ini sering dikenal dengan istilah “takedown.”
Fenomena ini bagaikan “Jeruk Makan Jeruk” ketika sesama wartawan saling menjatuhkan, bahkan menjadi duri dalam daging di tubuh profesi sendiri. Dalam istilah lain, seperti “musuh dalam selimut” atau “makan bangkai kawan sendiri”, sikap pengkhianatan dari kalangan seprofesi ini tumbuh karena rasa iri, dengki, egoisme, bahkan dendam pribadi. Ironisnya, mereka tampil seolah-olah bersih dan independen, namun jauh dari etika jurnalistik.
Yang lebih memprihatinkan, hanya bermodalkan ID card bertuliskan “wartawan”, oknum-oknum ini dengan percaya diri menyebut diri mereka sebagai jurnalis. Padahal, mendirikan lembaga pers tidak semudah itu. Ada syarat-syarat yang wajib dipenuhi sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Pers dan peraturan Dewan Pers, antara lain:
1. Perusahaan media cetak, elektronik, atau siber harus berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT).
2. Perusahaan pers wajib mencantumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka.
3. Wartawan harus bersikap independen serta menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
4. Wartawan dilarang menyebarkan berita bohong, fitnah, sadis, atau cabul.
5. Wartawan wajib segera mencabut atau meralat berita yang keliru serta menyampaikan permintaan maaf.
6. Wartawan harus melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Dewan Pers berwenang menilai pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik. Adapun organisasi profesi wartawan dan perusahaan pers memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi. Sayangnya, banyak oknum justru bersikap tidak sopan, arogan, bahkan memaksa untuk mendapatkan informasi secara tidak etis.
Untuk menjadi wartawan yang layak dan profesional, ada tujuh core skills yang harus dikuasai:
1. Menulis secara efektif.
2. Informatif dan lugas dalam penyampaian berita.
3. Kemampuan riset dan observasi.
4. Komunikasi dan public speaking yang baik.
5. Berpikir kritis dan analitis.
6. Manajemen waktu yang efisien.
7. Penguasaan teknologi dan media digital.
Jika ketujuh kompetensi ini tidak dimiliki, maka patut dipertanyakan kualitas sumber daya manusianya. Penghayatan dan kepatuhan terhadap Kode Etik Jurnalistik merupakan mahkota profesi wartawan. Seorang jurnalis harus melewati setiap proses jurnalistik, dari perencanaan, pencarian informasi, pengolahan data, hingga penyajian berita, dengan penuh tanggung jawab moral dan profesionalisme.
Setiap wartawan wajib menguji dirinya:
Sudahkah berita ini akurat ?
Sudahkah berimbang ?
Apakah ada unsur menghakimi atau melanggar kesusilaan ?
Apakah mengandung SARA atau diskriminasi terhadap kelompok tertentu, termasuk penyandang disabilitas dan anak-anak ?
Semua itu harus dijawab dengan kejujuran dan integritas pribadi.
Penulis: Totok Brengos & Eko Gagak
Editor: @gus
23 Juli 2025