Fakta Mengejutkan, Diduga Anggaran Covid 19 Tahun 2020-2021 Dipotong, Praktisi Hukum Minta Kasus Ini Harus di Usut Tuntas

JOMBANG metrosoerya – Fakta mengejutkan kembali mencuat terkait dugaan pemotongan insentif tenaga kesehatan (nakes) di RSUD Jombang pada masa pandemi COVID -19, khususnya tahun 2020–2021. Hal ini diungkapkan oleh salah satu tenaga kesehatan dalam wawancara dengan wartawan.
Saat ditanya apakah seluruh petugas mendapatkan honor dari dana COVID, narasumber menjelaskan bahwa insentif hanya diberikan bagi petugas yang berhubungan langsung dengan pasien. Berdasarkan surat tugas dari Kementerian Kesehatan, tenaga kesehatan dikategorikan dalam empat golongan:
1. Dokter spesialis
2. Dokter umum
3. Tenaga medis (perawat, bidan, dll)
4. Tenaga non-medis (radiologi, laboratorium, kebersihan, hingga cleaning service).
Menurut pengakuannya, besaran insentif seharusnya jelas, yakni:
Dokter spesialis dan dokter umum mendapat insentif sesuai ketentuan Kemenkes,
Tenaga medis berkisar Rp7,5 juta hingga Rp 10 juta,untuk 22 hari kerja.
Tenaga non-medis berhak atas insentif Rp 5 juta,untuk 22 hari kerja.
Namun, fakta di lapangan jauh berbeda.
“Kalau mengacu SK, tenaga non-medis mestinya dapat Rp 5 juta. Tapi yang saya ketahui di RSUD Jombang, ada rekan yang hanya menerima sekitar Rp 2,5 juta. Jauh di bawah ketentuan,” ungkap narasumber.
Ia menambahkan, beberapa petugas bahkan tidak menerima slip honor resmi maupun tanda tangan penerimaan seperti layaknya pencairan insentif pada umumnya.
“Kalau di tempat saya, ada surat tugas resmi, jelas golongan dan hitungannya. Tapi di RSUD Jombang, banyak yang tidak ada. Penerimaan juga tanpa tanda tangan resmi. Itu menimbulkan tanda tanya besar,” lanjutnya
Perbandingan dengan rumah sakit daerah penyanggah juga menguatkan dugaan adanya pemotongan.
“Kalau di RS tempat saya, insentif tenaga non-medis Rp 5 juta itu full diterima. Tapi di RSUD Jombang yang notabene rumah sakit rujukan utama, justru hanya separuhnya. Logikanya kan harusnya lebih besar, karena jumlah pasien jauh lebih banyak,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa insentif pada masa puncak pandemi tahun 2021 seharusnya berada pada kisaran Rp7,5 juta–Rp 10 juta bagi tenaga medis. Namun, faktanya hanya sebagian kecil yang menerima sesuai ketentuan, sedangkan mayoritas mendapat jauh di bawah plafon.
Kondisi ini, menurut sejumlah kalangan, ikut memicu gejolak internal hingga berujung pada pelengseran Direktur RSUD Jombang saat itu, dr. Puji Umbaran.
Analisis Hukum: Ada Dugaan Tindak Pidana Korupsi
Temuan ini menuai sorotan tajam dari Anang Hartoyo SH MH praktisi hukum yang juga pengamat kebijakan menilai kasus dugaan pemotongan insentif nakes merupakan bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan tenaga kesehatan di garda terdepan.
Berdasarkan regulasi, insentif nakes diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/447/2020 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani COVID -19. Dana tersebut bersumber dari APBN dan APBD serta wajib diberikan sesuai ketentuan tanpa pemotongan.
Apabila benar terjadi pemotongan insentif, maka perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam:
Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, yang menyebutkan:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, ancaman pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.” kata anang
Selain itu, dugaan pemotongan insentif juga berpotensi melanggar Pasal 12 huruf e UU Tipikor tentang gratifikasi atau pemotongan yang tidak sah terhadap hak pegawai negeri/penyelenggara negara.
“Saat banyak nakes mempertaruhkan nyawa di tengah gelombang COVID -19, justru hak-hak mereka dipangkas. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bisa masuk ranah tindak pidana korupsi,” tegasnya
Anang menyebut perlunya investigasi mendalam oleh aparat penegak hukum.
“Kejaksaan Negeri maupun KPK tidak boleh tinggal diam. Harus ada audit forensik atas pencairan insentif COVID di RSUD Jombang. Jika terbukti ada pemotongan, maka pelakunya wajib diproses hukum,” ujarnya.
Anang pun mendesak agar kasus ini segera diusut tuntas, mengingat dana COVID adalah anggaran darurat negara yang seharusnya digunakan sepenuhnya untuk penyelamatan nyawa, bukan untuk memperkaya segelintir pihak. (Pul)