Akhir dari Sejarah Kudeta: Saatnya Kembali ke Setia Hati Sejati Menutup Luka, Menyatukan Hati
Metrosowrya.com.-Ngalah (mengalah), ngalih (menghindar) — dua laku yang telah dijalankan dengan kesabaran dan keikhlasan. Bukan karena lemah, tapi karena ingin menjaga benih persaudaraan agar tak layu oleh amarah dan kepentingan duniawi. Kini, perjalanan panjang itu mendekati ujungnya. Tahun 2026, Parapatan Luhur di Padepokan Agung Madiun (PAM) akan menjadi saksi akhir dari sejarah kelam kudeta yang sempat mengoyak tubuh Persaudaraan Setia Hati Terate.
Telah banyak langkah ditempuh, banyak hati yang terluka, namun juga banyak jiwa yang tetap memilih setia pada ajaran luhur. Sebab PSHT tidak lahir dari kebencian, melainkan dari cinta. Ia tidak tumbuh dari permusuhan, melainkan dari persaudaraan yang mengajak semua untuk nyawiji — bersatu dalam satu hati, satu rasa, dan satu tujuan.
Hampir sepuluh tahun, ajaran suci itu tertutup oleh bayang kekuasaan dan politik praktis. Sebagian melupakan makna sejati dari “setia” dan “hati”. Persaudaraan yang semestinya menjadi ikatan suci sering kali hanya tinggal kata yang diucap di bibir, tanpa makna di sanubari.
Kini, saatnya kembali. Kembali pada sumber ajaran, pada ruh persaudaraan yang tulus, pada nilai kesetiaan yang tanpa pamrih.
Karena Setia Hati bukan tentang siapa yang berkuasa, melainkan tentang siapa yang mampu menjaga hati tetap bening di tengah gelombang ujian.
Dan ketika semua telah memahami makna itu, maka Parapatan Luhur 2026 di PAM bukan sekadar pertemuan — tapi penyatuan kembali jiwa-jiwa yang pernah tercerai, menjadi satu dalam cahaya Persaudaraan Setia Hati Terate yang sejati.
> “Setia Hati bukan untuk menang atas sesama,
tetapi untuk menang atas diri sendiri.
Bukan untuk membesar dalam kekuasaan,
melainkan untuk tumbuh dalam keikhlasan.”
Satu Hati, Satu Langkah, Satu Tujuan —
Setia Hati Terate untuk Selama-lamanya.
(Kyai Mbeling )
Penulis : Ardy22
Editor : Redaksi
